Prabu Kiansantang atau Syeh Sunan Rohmat Suci adalah salah seorang putra keturunan raja Pajajaran yang bernama Prabu Siliwangi dari ibunya bernama Dewi Kumala Wangi. Mempunyai dua saudara yang bernama Dewi Rara Santang dan Walang Sungsang (Raja Sangara/Haji Mansur *Sejarah Prabu Siliwangi karya Dr. H. Dadan Wildan M.Hum )
Prabu Kiansantang lahir tahun 1315 Masehi di Pajajaran yang sekarang Kota Bogor.
Pada usia 22 tahun tepatnya tahun 1337 masehi Prabu Kiansantang
diangkat menjadi dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan
upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal,
menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral
penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka
ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal
sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor.
Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di
lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua sebagai
pewaris sejarah bangsa khususnya di Jawa Barat. Prabu Kiansantang
merupakan sinatria yang gagah perkasa, tak ada yang bisa mengalahkan
kegagahannya. Sejak kecil sampai dewasa yaitu usia 33 tahun,
tepatnya tahun 1348 Masehi, Prabu Kiansantang belum tahu darahnya
sendiri dalam arti belum ada yang menandingi kegagahannya dan
kesaktiannya disejagat pulau Jawa.
Sering dia merenung seorang diri memikirkan, "dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi kesaktian dirinya".
Akhirnya Prabu Kiansantang memohon kepada ayahnya yaitu Prabu Siliwangi
supaya mencarikan seorang lawan yang dapat menandinginya. Sang ayah
memanggil para ahli nujum untuk menunjukkan siapa dan dimana ada orang
gagah dan sakti yang dapat menandingi Prabu Kiansantang. Namun tak
seorangpun yang mampu menunjukkannya.
Tiba-tiba datang seorang kakek yang memberitahu bahwa
orang yang dapat menandingi kegagahan Prabu Kiansantang itu adalah Sayyidina Ali, yang tinggal jauh di Tanah Mekah. Sebetulnya
pada waktu itu Sayyidina Ali telah wafat, namun kejadian ini
dipertemukan secara goib dengan kekuasaan Alloh Yang Maha Kuasa.
Lalu orang tua itu berkata kepada Prabu Kiansantang: "Kalau
memang anda mau bertemu dengan Sayyidina Ali harus melaksanakan dua
syarat: Pertama, harus mujasmedi dulu di ujung kulon. Kedua, nama harus diganti menjadi Galantrang Setra (Galantrang - Berani, Setra - Bersih/ Suci). Setelah Prabu Kiansantang melaksanakan dua syarat tersebut, maka berangkatlah dia ke tanah Suci Mekah pada tahun 1348 Masehi.
Setiba di tanah Mekah beliau bertemu dengan seorang
lelaki yang disebut Sayyidina Ali, namun Kiansantang tidak mengetahui
bahwa laki-laki itu bernama Sayyidina Ali. Prabu Kiansantang yang
namanya sudah berganti menjadi Galantrang Setra menanyakan kepada
laki-laki itu: "Kenalkah dengan orang yang namanya Sayyidina Ali?"
Laki-laki itu menjawab bahwa ia kenal, malah bisa mengantarkannya ke
tempat Sayyidina Ali.
Sebelum berangkat laki-laki itu menancapkan dulu
tongkatnya ke tanah, yang tak diketahui oleh Galantrang Setra. Setelah
berjalan beberapa puluh meter, Sayyidina Ali berkata, "Wahai Galantrang Setra tongkatku ketinggalan di tempat tadi, coba tolong ambilkan dulu." Semula Galantrang Setra tidak mau, namun Sayyidina Ali mengatakan, "Kalau tidak mau ya tentu tidak akan bertemu dengan Sayyidina Ali."
Terpaksalah Galantrang Setra kembali ketempat bertemu,
untuk mengambilkan tongkat. Setibanya di tempat tongkat tertancap,
Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sebelah tangan, dikira tongkat
itu akan mudah lepas. Ternyata tongkat tidak bisa dicabut, malahan tidak
sedikitpun berubah. Sekali lagi dia berusaha mencabutnya, tetapi
tongkat itu tetap tidak berubah. Ketiga kalinya, Galantrang Setra
mencabut tongkat dengan sekuat tenaga dengan disertai tenaga bathin.
Tetapi dari pada kecabut, malahan kedua kaki Galantrang Setra amblas
masuk ke dalam tanah, dan keluar pulalah darah dari seluruh tubuh
Galantrang Setra.
Sayyidina Ali mengetahui kejadian itu, maka beliaupun
datang. Setelah Sayyidina Ali tiba, tongkat itu langsung dicabut sambil
mengucapkan Bismillah dan dua kalimat syahadat. Tongkatpun terangkat dan
bersamaan dengan itu hilang pulalah darah dari tubuh Galantrang Setra.
Galantrang Setra merasa heran kenapa darah yang keluar dari tubuh itu
tiba-tiba menghilang dan kembali tubuhnya sehat.
Dalam hatinya ia bertanya. "Apakah kejadian itu
karena kalimah yang diucapkan oleh orang tua itu tadi?”. Kalaulah benar,
kebetulan sekali, akan kuminta ilmu kalimah itu. Tetapi laki-laki
itu tidak menjawab. Alasannya, karena Galantrang Setra belum masuk
Islam. Kemudian mereka berdua berangkat menuju kota Mekah. Setelah tiba
di kota Mekah, dijalan ada yang bertanya kepada laki-laki itu dengan
sebutan Sayyidina Ali. "Kenapa anda Ali pulang terlambat?”. Galantrang
Setra kaget mendengar sebutan Ali tersebut.
Ternyata laki-laki yang baru dikenalnya tadi namanya
Sayyidina Ali. Setelah Prabu Kiansantang meninggalkan kota Mekah untuk
pulang ke Tanah Jawa (Pajajaran) dia terlunta-lunta tidak tahu arah
tujuan, maka dia berpikir untuk kembali ke tanah Mekah lagi. Maka
kembalilah Prabu Kiansantang dengan niatan akan menemui Sayyidina Ali
dan bermaksud masuk agama Islam.
Pada tahun 1348 Masehi Prabu Kiansantang masuk agama Islam,
dia bermukim selama dua puluh hari sambil mempelajari ajaran agama
Islam. Kemudian dia pulang ke tanah Jawa (Pajajaran) untuk menengok
ayahnya Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya. Setibanya di Pajajaran
dan bertemu dengan ayahnya, dia menceritakan pengalamannya selama
bermukim di tanah Mekah serta pertemuannya dengan Sayyidina Ali. Pada
akhir ceritanya dia memberitahukan dia telah masuk Islam dan berniat
mengajak ayahnya untuk masuk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget sewaktu
mendengar cerita anaknya yang mengajak masuk agama Islam. Sang ayah
tidak percaya, malahan ajakannya ditolak.
Tahun 1355 Masehi Prabu Kiansantang berangkat kembali ke tanah Mekah,
jabatan kedaleman untuk sementara diserahkan ke Galuh Pakuan yang pada
waktu itu dalemnya dipegang oleh Prabu Anggalang. Prabu Kiansantang
bermukim di tanah Mekah selama tujuh tahun dan mempelajari ajaran agama
Islam secara khusu. Merasa sudah cukup menekuni ajaran agama Islam,
kemudian beliau kembali ke Pajajaran tahun 1362 M. Beliau
berniat menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa. Kembali ke
Pajajaran, disertai oleh Saudagar Arab yang punya niat berniaga di
Pajajaran sambil membantu Prabu Kiansantang menyebarkan agama Islam.
Setibanya di Pajajaran, Prabu Kiansantang langsung menyebarkan agama
Islam di kalangan masyarakat, karena ajaran Islam dalam fitrohnya
membawa keselamatan dunia dan akhirat. Masyarakat menerimanya dengan
tangan terbuka. Kemudian Prabu Kiansantang bermaksud menyebarkan ajaran
agama Islam di lingkungan Keraton Pajajaran.
Setelah Prabu Siliwangi mendapat berita bahwa anaknya
Prabu Kiansantang sudah kembali ke Pajajaran dan akan menghadap
kepadanya. Prabu Siliwangi yang mempunyai martabat raja mempunyai
pikiran. "Dari pada masuk agama Islam lebih baik aku muninggalkan istana keraton Pajajaran".
Sebelum berangkat meninggalkan keraton, Prabu Siliwangi merubah Keraton
Pajajaran yang indah menjadi hutan belantara. Melihat gelagat demikian,
Prabu Kiansantang mengejar ayahnya. Beberapa kali Prabu Siliwangi
terkejar dan berhadapan dengan Prabu Kiansantang yang langsung mendesak
sang ayah dan para pengikutnya agar masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi
tetap menolak, malahan beliau lari ke daerah Garut Selatan ke salah satu
pantai. Prabu Kiansantang menghadangnya di laut Kidul Garut, tetapi
Prabu Siliwangi tetap tidak mau masuk agama Islam.
Dengan rasa menyesal Prabu Kiansantang terpaksa
membendung jalan larinya sang ayah. Prabu Siliwangi masuk kedalam gua,
yang sekarang disebut gua sancang Pameungpeuk. Prabu Kiansantang sudah
berusaha ingin meng Islamkan ayahnya, tetapi Alloh tidak memberi taufiq
dan hidayah kepada Prabu Siliwangi.
Prabu Kiansantang kembali ke Pajajaran, kemudian dia
membangun kembali kerajaan sambil menyebarkan agama Islam ke
pelosok-pelosok daerah, dibantu oleh saudagar arab sambil berdagang.
Namun istana kerajaan yang diciptakan oleh Prabu Siliwangi tidak
dirubah, dengan maksud pada akhir nanti anak cucu atau generasi muda
akan tahu bahwa itu adalah peninggalan sejarah nenek moyangnya.
Sekarang lokasi istana itu disebut Kebun Raya Bogor.
Pada tahun 1372 Masehi Prabu Kiansantang menyebarkan agama Islam di
Galuh Pakuwan dan dia sendiri yang mengkhitanan orang yang masuk agama
Islam.
Tahun 1400 Masehi, Prabu Kiansantang diangkat menjadi Raja Pajajaran
menggantikan Prabu Munding Kawati atau Prabu Anapakem I. Namun Prabu
Kiansantang tidak lama menjadi raja karena mendapat ilham harus uzlah,
pindah dari tempat yang ramai ketempat yang sepi.
Dalam uzlah itu beliau diminta agar bertafakur untuk
lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka mahabah dan
mencapai kema'ripatan. Kepada beliau dimintakan untuk memilih tempat
tafakur dari ke 3 tempat yaitu Gunung Ceremai, Gunung Tasikmalaya, atau
Gunung Suci Garut. Waktu uzlah harus dibawa peti yang berisikan
tanah pusaka. Peti itu untuk dijadikan tanda atau petunjuk tempat
bertafakur nanti, apabila tiba disatu tempat peti itu godeg/ berubah,
maka disanalah tempat dia tafakur, dan kemudian nama Kiansantang harus
diganti dengan Sunan Rohmat. Sebelum uzlah
Prabu Kiansantang menyerahkan tahta kerajaan kepada Prabu Panatayuda
putra tunggal Prabu Munding Kawati. Setelah selesai serah terima tahta
kerajaan dengan Prabu Panatayuda, maka berangkatlah Prabu Kiansantang
meninggalkan Pajajaran.
Yang dituju pertama kali adalah gunung Ceremai. Tiba
disana lalu peti disimpan diatas tanah, namun peti itu tidak godeg alias
berubah. Prabu Kiansantang kemudian berangkat lagi ke gunung
Tasikmalaya, disana juga peti tidak berubah. Akhirnya Prabu Kiansantang
memutuskan untuk berangkat ke gunung Suci Garut. Setibanya di gunung Suci Garut peti itu disimpan diatas tanah secara tiba-tiba berubah/ godeg.
Dengan godegnya peti tersebut, itu berarti petunjuk
kepada Prabu Kiansantang bahwa ditempat itulah, beliau harus tafakur
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tempat itu kini diberi nama Makam Godog. Prabu Kiansantang bertafakur selama 19 tahun. Sempat mendirikan Mesjid yang disebut Masjid Pusaka Karamat Godog yang berjarak dari makam godog sekitar kurang lebih 1 Km. Prabu Kiansantang namanya diganti menjadi Syeh Sunan Rohmat Suci dan tempatnya menjadi Godog Karamat. Beliau wafat pada tahun 1419 M atau tahun 849 Hijriah. Syeh Sunan Rohmat Suci wafat ditempat itu yang sampai sekarang dinamakan Makam Sunan Rohmat Suci atau Makam Karamat Godog.
dikutip dari tulisan Dr Rochajat Harun Med. | 24-Sep-2008, 10:13:21 WIB
Sabtu, 17 Agustus 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar